Dibalik Sejarah Nairasaon

Legenda Nairasaon (Manurung, Sitorus, Sirait, Butar-Butar)
Datu Pejel datang dari Limbong menuju Sibisa manandang Hadatuon sembari menjalankan hobinya “Marultop”. Ia sampai ke Sibisa karena mengejar-ngejar “Anduhur”. Menyadari usianya sudah mulai makin tua, Datu Pejel melakukan semedi, memohon Kepada Mulajadi Na Bolon agar ia diberi jodoh. Tak lama setelah bersemedi, ia pun mendengar suara “Martonun”, ia pun penasaran lalu pergi melihatnya.

Ia sangat terkejut sudah lama menetap di Sibisa tapi tak pernah ia melihat orang. Ia pun menyadari bahwa Tuhan telah mengabulkan permintaannya. Perempuan ini di namai Boru Tantan Debata (“Titisan Allah”) karena Mulajadi Na Bolon lah yg mengirimnya buat Datu Pejel. Singkat cerita, Boru Tantan Debata melahirkan seorang Putra menyerupai Kodok. (Bahasa Batak asli Sirasaon). Datu Pejel tak terima anaknya seperti kodok, ia pun membuangnya ke Bara agar mati dipijak kerbau milik mereka yg dikandangkan di Bara. Inilah pertengkaran Pertama antara Datu Pejel dan Boru Tantan Debata. Boru Tantan Debata diam-diam mengambil anaknya dari Bara dan disembunyikan di Para-para rumah mereka. Setiap kali pulang dari ladang Boru Tantan Debata heran melihat kayu bakar mereka yg di jemurnya sebelum berangkat ke ladang selalu tersusun rapi. Ia pun melakukan pengintaian, siapa gerangan yg melakukan semua itu.

Namun, Boru Tantan Debata terkejut yg melakukan semua itu adalah seorang bocah yg cukup gagah (anaknya), dan setelah selesai menyusun kayu bakar ia masuk ke dalam rumah. Boru Tantan Debata pulang ke rumah seperti biasa, ia melihat anaknya masih tetap “Marruman Sirasaon”. Namun dalam hati Boru Tantan Debata sudah tahu bahwa anaknya cukup tampan. Saat usia remaja Nairasaon pun di Pertapakan Datu pejel di gunung Simanuk-manuk (sebelah timur Sibisa, sebelah kiri menuju Porsea dari Parapat). Sekembalinya dari Partapaon di simanuk-manuk Datu Pejel menyuruh Nairasaon ke limbong untuk “Mangalap Boru Ni Tulang Na”, Nairasaon pun berangkat ke Limbong.

Namun setelah sampai di Limbong,

Dari Tujuh boru Ni Tulangnya, tak satu pun yg mau menjadi istri Nairasaon karena wajahnya yg seperti kodok. Suatu sore secara kebetulan Boru Tulangnya yg paling bungsu melihat Nairasaon pergi Mandi. Ia terpesona melihat ketampanan wajah Nairasaon. Ia menyadari bahwa wajah Nairasaon hanya “Rumang” (Topeng). Hari ketiga Nairasaon pamit untuk pulang. Namun sebelum pulang Tulangnya mengumpulkan ketujuh Borunya dan menanyakan satu per satu dari Boru Pertama sampai Boru ketujuh. Boru Pertama sampai Boru ke enam tidak ada yg bersedia, mereka tetap pada pendirian mereka saat pertama ditanyai orang tuanya. Sang Tulang pun menanya Boru Siampudan, Boru Siampudan pun menjawab “Naroa pe Paribankki Naroakku do i, au rade do gabe Parsonduk ni anak ni Namborukki”. Akhirnya Nairasaon pun dinikahkan dengan Boru Siampudan. Mengetahui Nairasaon cukup tampan, pada saat menjelang pesta pariban Nairasaon yg enam orang lagi menuntut kepada orang tuanya kenapa mereka “Dilangkahi” adiknya. Sang Tulang pun menjawab “Hamu do da inang na manjua, Anggim do mangoloi ba molo i naso jadi be sirangan”. Nairasaon kembali ke Sibisa dan menetap di sana. Tiba pada saatnya Istri Nairasaon melahirkan. Namun yg dilahirkan berbentuk “Lambutan” (bulat) dan kembar. Mengetahui cucunya seperti itu Datu Pejel Marah dan membuang cucunya ke Pansur Napitu.

Boru Tantan Debata marah akan sikap suaminya Datu Pejel. Ia pun bersumpah tidak akan pernah di kuburkan berdekatan, (Bukti ada sampai saat ini di Sibisa kuburan Datu Pejel dan Boru Tantan Debata di Antari lembah kecil), “Ngadua hali di bahen ho haccit rohakku, di bolongkonkko anak ku dohot pahompukku”. Ia pun menghentakkan kakinya, sambil berkata “Ingkon sirang do tanomankku dohot ho”. Esok hari Boru Tantan Debata pergi ke jurang Pansur Napitu untuk mencari cucunya yg di buang Datu Pejel. Ia terkejut mendengar suara tangisan bayi cucunya. Kilat pada malam hari itu diyakininya telah membuka “lambutan” cucunya, karena tidak tahu siapa yg duluan lahir maka kedua bayi itu di namai Raja Mardopang (bercabang) yakni Raja Mangatur dan Raja Mangarerak.

Nairasaon terus menjalankan tapanya di Simanuk-manuk. Dan tak pernah kembali lagi. Dan bagi Pomparan Nairasaon, “Simanuk-manuk di abadikan dalam Gondang Simanuk-manuk. Sebagai Gondang Pasiarhon dan Gondang Jujungan angka Nairasaon dan Boruna. Yang sampai saat ini Gondang Ini sangat populer di setiap pesta Nairasaon Khususnya Sirait.

Simanuk-manuk diabadikan dalam gondang gerak dalam tortor. Sampai saat ini hanya tinggal beberapa orang yg menguasai itu pun orang-orang yg memiliki jujungan. Diantara mereka berdua (Raja Mangatur dan Raja Mangarerak) tidak tahu siapa si Abangan dan si Adek-an sebab lahirnya pun berdampingan. Pernah dibuat dalam suatu Pesta adat Nairasaon Manortor si Raja Mangarerak di depan tetapi Ogung tak dapat berbunyi dan Raja Mangatur didepan juga Ogung tak berbunyi. Dan dibuatnya Raja Mangarerak di kanan dan Raja Mangatur di kiri barulah bunyi Ogung kedengaran.

Itulah sebabnya sering disebut Raja Mangarerak Mangatur untuk si Raja Mangarerak dan Raja Mangatur Mangarerak untuk si Raja Mangatur.

Raja Mangarerak / Br. Hutahot mempunyai 1 anak yaitu Raja Toga Manurung dan 1 Putri Br. Similingiling.

Raja Mangatur / Br. Harugasan Sagala dan punya anak 3 orang,
1. Raja Sitorus,
2. Raja Sirait,
3. Raja ButarButar

9 Nilai Budaya Batak Toba Yang Sangat Populer

Pada dasarnya budaya batak memiliki nilai budaya yang sangat kental ditemukan, antara lain:

1. KEKERABATAN
Yang mencakup hubungan premordial suku, kasih sayang atas dasar hubungan darah, kerukunan unsur-unsur Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Dongan Tubu, Boru), Pisang Raut (Anak Boru dari Anak Boru), Hatobangon (Cendikiawan) dan segala yang berkaitan hubungan kekerabatan karena pernikahan, solidaritas marga dan lain-lain.

2. RELIGI
Mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian yang
mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya.

3. HAGABEON
Banyak keturunan dan panjang umur. satu ungkapan tradisional Batak yang terkenal yang disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniakan putra 17 dan putri 16. Sumber daya manusia bagi orang Batak sangat penting. Kekuatan yang tangguh hanya dapat dibangun dalam jumlah manusia yang banyak. Ini erat hubungannya dengan sejarah suku bangsa Batak yang ditakdirkan memiliki budaya bersaing yang sangat tinggi. Konsep Hagabeon berakar, dari budaya bersaing pada jaman purba, bahkan tercatat dalam sejarah perkembangan, terwujud dalam perang huta (kampung/tradisional). Dalam perang tradisional ini kekuatan tertumpu pada jumlah personil yang besar. Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon disebut SAUR MATUA BULUNG (seperti daun, yang gugur setelah tua). Dapat dibayangkan betapa besar pertambahan jumlah tenaga manusia yang diharapkan oleh orang Batak, karena selain setiap keluarga diharapkan melahirkan putra-putri sebanyak 33 orang, juga semuanya diharapkan berusia lanjut.

4. HASANGAPON
Kemuliaan, kewibawaan, kharisma, suatu nilai utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Nilai ini memberi dorongan kuat, lebih-lebih pada orang Toba, pada jaman modern ini untuk meraih jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma dan kekuasaan.

5. HAMORAON
Kaya raya, salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak, khususnya orang Toba, untuk mencari harta benda yang banyak.

6. HAMAJUON
Kemajuan, yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu. Nilai budaya hamajuon ini sangat kuat mendorong orang Batak bermigrasi keseluruh pelosok tanah air. Pada abad yang lalu, Sumatra Timur dipandang sebagai daerah rantau. Tetapi sejalan dengan dinamika orang Batak, tujuan migrasinya telah semakin meluas ke seluruh pelosok tanah air untuk memelihara atau meningkatkan daya saingnya.

7. HUKUM
Patik dohot uhum (aturan dan hukum). Nilai patik dohot uhum merupakan nilai yang kuat di sosialisasikan oleh orang Batak. Budaya menegakkan kebenaran, berkecimpung dalam dunia hukum merupakan dunia orang Batak.

Nilai ini mungkin lahir dari tingginya frekuensi pelanggaran hak asasi dalam perjalanan hidup orang Batak sejak jaman purba. Sehingga mereka mahir dalam berbicara dan berjuang memperjuangkan hak-hak asasi. Ini tampil dalam permukaan kehidupan hukum di Indonesia yang mencatat nama orang Batak dalam daftar pendekar-pendekar hukum, baik sebagai Jaksa, Pembela maupun Hakim.

8. PENGAYOMAN
Dalam kehidupan sosio-kultural orang Batak kurang kuat dibandingkan dengan nilai-nilai yang disebutkan terdahulu. ini mungkin disebabkan kemandirian yang berkadar tinggi. Kehadiran pengayom, pelindung, pemberi kesejahteraan, hanya diperlukan dalam keadaan yang sangat mendesak.

9. KONFLIK
Dalam kehidupan orang Batak Toba kadarnya lebih tinggi dibandingkan dengan yang ada pada Angkola-Mandailing. Ini dapat dipahami dari perbedaan mentalitas kedua sub suku Batak ini. Sumber konflik terutama ialah kehidupan kekerabatan dalam kehidupan Angkola-Mandailing. Sedang pada orang Toba lebih luas lagi karena menyangkut perjuangan meraih hasil nilai budaya lainnya. Antara lain Hamoraon yang mau tidak mau merupakan sumber konflik yang abadi bagi orang Toba.